Wednesday, December 21, 2016

“Relasi Makna”



Disusun oleh:
Kelompok 3
Rudiyanto
Sintiyah
Takesi Anjarsari
Wasiri




KATA PENGANTAR
Puji syukur  kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt.  yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehinga kami mendapatkan petunjuk, kekuatan dan kesabaran agar kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Relasi Makna”.
Adapun makalah ini merupakan syarat untuk menambah pengetahuan tentang mata kuliah “Linguistik Umum”  dan melengkapi tugas dalam proses pembelajaran mata kuliah “Linguistik Umum”. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari  kesempurnaan. Oleh karna itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan mendidik untuk perbaikan selanjutnya.
 Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya. Terima kasih.
Indramayu,   Desember  2016

          Penulis
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Penulisan
            Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, sering kali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa  dengan kata atau satuan bahasa lainnya.
            Hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), dan kelebihan makna (redundansi).

1.2       Rumusan Masalah Penulisan
Bentuk permasalahan yang akan dibahas oleh penulis adalah sebagai berikut:
1.                Apa pengertian relasi makna ?
2.                Apa pengertian sinonimi ?
3.                Apa pengertian antonimi?
4.                Apa pengertian polisemi ?
5.                Apa pengertian homonimi ?
6.                Apa pengertian hiponimi ?
7.                Apa pengertian ambiguitas?
8.                Apa pengertian redundansi?


1.3     Tujuan Masalah Penulisan  
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.                Mengetahui tentang relasi makna.
2.                Mengetahui tentang sinonimi.
3.                Mengetahui tentang antonimi.
4.                Mengetahui tentang polisemi.
5.                Mengetahui tentang homonimi.
6.                Mengetahui tentang hiponimi.
7.                Mengetahui tentang ambiguitas.
8.                Mengetahui tentang redundansi.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Relasi Makna
            Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase maupun kalimat. Dan relasi makna itu dapat menyatakan kesamaan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
 Dalam pembicaraan tentang relasi makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
            2.1.1 Sinonimi
            Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya antara kata betul dengan kata benar, antara kata hamil dan frase duduk  perut, dan antara kalimat Dika menendang bola dengan bola ditendang Dika.
            Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar itu bersinonim dengan kata betul.
            Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
            Pertama, faktor waktu. Umpanya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan tidak memiliki pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik. Contoh lain kata kempa bersinonim dengan kata stempel, namun kata kempa juga hanya cocok digunakan pada konteks klasik.
            Kedua, faktor tempat atau wilayah. Misalnya kata saya dan beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun ketika kata saya dapat digunakan di mana saja, sedangkan kata beta hanya cocok digunakan di wilayah Indonesia timur atau dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia timur.
            Ketiga, faktor keformalan. Misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tidak formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
            Keempat, faktor sosial. Misalnya kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim, tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan sosialnya.
            Kelima, bidang kegiatan. Misalnya kata matahari dan surya adalah dua buah kata bersinonim. Namun kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat digunakan secara umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra.
            Keenam, faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Namun antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki nuansa makna yang berbeda. Kata melihat memliki makna yang umum, kata melirik memliki makna melihat dengan sudut mata, kata menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan, kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh, dan kata mengintip memilki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Dengan demikian, kata-kata tersebut tidak dapat ditukar atau diganti karena memiliki nuansa makna yang berbeda, meskipun kata-kata tersebut dianggap bersinonim.
            Dari keenam faktor tersebut, bisa disimpulkan bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubtitusikan.

            2.1.2 Antonimi
            Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau berlawanan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati berantonim dengan kata hidup, kata guru berantonim dengan kata murid, dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
            Hubungan antara dua satuan ujaran yang berantonim juga bersifat dua arah. Jadi, kalau kata membeli berantonim dengan kata menjual, maka kata menjual juga berantonim dengan kata membeli.
            Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonim itu dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain :
            Pertama, antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim secara mutlak dengan kata mati, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentuya sudah tidak hidup lagi. Contoh lain kata diam secara mutlak berantonim dengan kata bergerak, sebab sesuatu yang diam tentu tidak bergerak, dan yang sedang bergerak tentunya sedang tidak diam.
            Kedua, antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil berantonim secara relatif, juga antara kata jauh dan dekat, dan antara gelap dan terang. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batasan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas, batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang. Karena itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil, dan sesuatu yang tidak dekat belum tentu jauh. Karena itu pula kita dapat mengatakan, misalnya lebih dekat, lebih jauh, atau juga paling dekat. Suatu objek dikatakan besar atau kecil dalam kehidupan kita adalah karena diperbandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Seekor kambing adalah menjadi sesuatu yang kecil ketika berada di samping gajah, tetapi kambing akan menjadi sesuatu yang besar ketika berada di samping anjing dan kucing.
            Ketiga, antonim yang bersifat relasional. Umpamanya antara kata membeli dan menjual, antara kata suami dan isteri, dan antara kata guru dan murid. Antonim jenis ini disebut antonim relasional karena munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain. Adanya membeli karena adanya menjual, adanya suami karena adanya istri. Contoh konkret seorang laki-laki tidak bisa disebut suami kalau tidak punya istri. Andai kata istrinya meninggal, maka dia bukan suami lagi, melainkan sudah berganti nama, yaitu duda.
            Keempat. Antonim yang bersifat hierarki. Umpanya kata tamtama dan bintara berantonim secara hierarki, juga antara kata gram dan kilogram. Antonim jenis ini disebut hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki. Demikianlah, kata tamtama dan bintara berada dalam satu garis kepangkatan militer, kata gram dan kilogram berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.
            Di dalam bahasa Indonesia, mungkin juga di bahasa lain, ada satuan ujaran yang memiliki pasangan antonim lebih dari satu antonim.  Hal yang seperti ini lazim disebut antonim majemuk. Umpamanya, kata berdiri bisa berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, atau bersila.

            2.1.3 Polisemi
Polisemi adalah bentuk bahasa (kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Polisemi terjadi akibat pergeseran makna, sehingga mempunyai hubungan antara semua makna kata itu. Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu.


Contoh 1
1. Toni jatuh dari motor.
2. Harga cengkeh jatuh pada tahun ini.
3. Setelah tiba di rumah, ia jatuh sakit.
4. Nilainya jatuh sehingga harus mengulang lagi di kelas XI.

Keempat kalimat di atas memiliki satu kata yang sama, yaitu jatuh, tetapi maknanya berbeda. Kata jatuh pada kalimat ke-1 mempunyai makna sebenarnya atau makna lugas, yaitu terlepas. Pada kalimat ke-2 berarti merosot. Kalimat ke-3 bermakna menjadi atau menderita. Kalimat ke-4  bermakna gagal atau tidak berhasil

Contoh 2
1. Buah apel merupakan oleh oleh khas kota malang
     (kata buah bermakna buah buahan)
2. Ayana memiliki buah hati yang bernama Nabila
     (kata buah bermakna anak)
3. Nadzar membawa buah tangan dari kota Madura
    ( kata buah bermakna oleh-oleh)                      



Contoh 3
1.      Kepalanya luka terkena pecahan kaca
(makna sebenarnya/leksikal/denotatif)
2.      Kepala kantor itu bukan paman saya
(karena kepala memiliki fungsi yang penting)
3.      Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor
(karena kepala berada di atas)
4.      Kepala jarum itu terbuat dari plastik
(karena kepala berbentuk bulat)
5.      Yang duduk di kepala meja itu tentu orang penting
(karena kepala bagian yang penting dan terhormat)

            2.1.4 Homonimi
                                 Homonimi adalah “Dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya ‘kebetulan’ sama; maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan”(Chaer, 2007: 302).
         Verhaar dalam Chaer (2009: 94) mengatakan homonimi adalah ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.
Faizah (2010:73) menjelaskan bahwa  homonimi yaitu relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama tetapi maknanya berbeda.
Keraf (1969:129) menjelaskan bahwa homonim yaitu kata-kata yang mempunyai bentuk yang sama tetapi artinya berbeda.
Alwasilah (1983:150) menjelaskan bahwa homonimi adalah beberapa kata yang diucapkan persis sama tapi artinya berbeda.
Sartuni (1987:40) menjelaskan bahwa homonim ialah bentuk dan ucapannya sama sedangkan maknanya berbeda.
Jadi, homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan

Contoh 1
a)  Antara kata bisa yang artinya “racun ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup”
b) Antara kata mengurus yang berarti “mengatur” dan kata mengurus yang berarti “menjadi kurus”.

Contoh kalimatnya:
a)      - Ular itu memiliki bisa yang sangat mematikan.
-Saya pasti bisa melakukanya.
       b)   -Ibu itu sedang mengurus anak-anaknya.
- Tubuhnya semakin hari semakin mengurus
Contoh 2
 kata “mental” dalam arti mental (kepribadian ) dengan kata mental ( terpelanting ).
Contoh kalimatnya :
-Anak itu memiliki mental yang kuat.
-Dodi mental ke aspal jalanan setelah terjatuh dari motornya.

Ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi
·         Homofoni
         Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda (Chaer, 2007: 303).

Contoh kata:
 Kata bank yang berarti ‘lembaga keuangan’ dengan kata bang yang bermakna
‘kakak laki-laki
Contoh dalam kalimat:
1. Ibu meminjam uang di bank.
2. Bang Ali menjual bakso.


·         Homografi
Homografi adalah bentuk ujaran yang sama ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama (Chaer, 2007: 303).

Contoh kata:
Kata memerah /məmərah/ yang berarti ‘melakukan perah’ dan kata memerah /məmerah/ yang artinya ‘menjadi merah’.

Contoh kalimatnya:
-  Andi memerah susu sapi di peternakan ayahnya.
-  Wajah messi memerah setelah diejek rekan setimnya.


            2.1.5 Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercangkup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umapamanya antara kata merpati dan burung. Di sini kita lihat makna kata merpati tercangkup dalam makna kata burung. Kita dapat  mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati, bisa juga tekukur, perkutut, dan cendrawasi.
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan  merpati, melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung, maka burung adalah hipermin dari merpati.
Dilihat dari segi lain, masalah hiponimi dan hipernimi sebenarnya tidak lain dari usaha untuk membuat klasifikasian terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan spesifik. Jadi, merpati, tekukur, dan perkutut adalah nama-nama spesifik untuk kelas generik burung. Begitu juga mawar, melati, dan anggrek adalah nama-nama spesifik untuk kelas genetik bunga.

            2.1.6 Ambiguiti
            Ambiguiti atau ketaksaaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi :  (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna (1) dan (2) itu terjadi karena kata baru yang ada dalam konstruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah. Bentuk ujaran anak dosen yang nakal juga bermakna ganda. Maknanya mungkin (1)  anak itu yang nakal, atau bisa juga (2)  dosen itu yang nakal. Kedua makna itu karena tafsiran gramatikalnya tidak sama.
            Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda, tetapi karena masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Misalnya dalam kalimat seperti ini.
a.       Mereka bertemu paus
Dapat ditafsirkan (1) mereka bertemu sejenis ikan besar, dan dapat juga berarti (2) mereka bertemu dengan pemimpin agama katolik yang ada di Roma. Kata paus dalam arti (1) dan  arti (2) bentuknya merupakan homonimi.
b.      Dia memang bukan orang kudus
Begitu juga kata kudus dalam kalimat diatas dapat difafsirkan “suci” atau nama kota di Jawa Tengah.
Dari pembicaraan di atas hanya terlihat bahwa ketaksaan itu hanya terjadi dalam bahasa tulis, akibat dari perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur intonasi. Namun ketaksaan itu juga dapat terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis. Perhatikan teks berikut.

a.       Ujang dan Nanang bersahabat karib.
Dia sangat mencintai istrinya.
Cobalah jawab, siapa yang mencintai istri siapa? Kemungkinanya adalah (1) Ujang mencintai istri Ujang, (2) Ujang mencintai istri Nanang, (3) Nanang mencintai istri Nanang, dan (4) Nanang mencintai istri Ujang. Keempat tafsiran itu terjadi karena kata ganti dia dan nya tidak jelas mengacu kepada siapa.
            Dalam hal membedakan polisemi dengan ambiguti perlu diingat, bahwa polisemi biasanya hanya tataran kata, dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, berasal dari ciri-ciri makna leksikal yang dimilikinya. Oleh karena itu, makna-maknanya itu masih mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan ambiguiti adalah salah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan tafsiran gramatikal.

            2.1.7 Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat bola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Dika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Nah, penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi, berlebih-lebihan. Begitu juga dengan kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah, tidak akan berbeda maknanya dengan Nita berbaju merah. Maka bentuk pertama disebut redundansi, terlalu berlebih-lebihan dalam menggunakan kata.
            Sebenarnya menurut teori semantik yang diajukan Verhaar (1978), makna kalimat bola itu ditendang oleh Dika dan bola itu ditendang Dika adalah tidak sama. Yang sama hanyalah informasinya. Dengan adanya kata oleh pada kalimat pertama, maka peran objek pelaku lebih ditonjolkan. Sedangkan pada kalimat kedua penonjolan peran pelaku itu tidak ada. Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efesien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna (lebih tepat informasi), harus dibuang. Namun dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental membawa makna masing-masing.



















BAB III
KESIMPULAN
3.1    Simpulan
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, makna kata saling berhubungan, hubungan kata itu disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam- macam antara lain Sinonim sering disebut dengan persamaan kata. Antonimi sering disebut dengan lawan kata, Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna lebih dari satu. Homonimi adalah 2 buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan. Homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.   Hifonimi adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Ambiguitas adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Istilah redudansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran.

3.2       Saran
Demikian tugas yang bisa kami persembahkan. Tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2014.Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.



No comments:

Post a Comment

Naskah Drama "Balada Saridin"

Pemain : 1.       Saridin 2.       Aisyah 3.       Sari (teman Aisyah) 4.       Siti (teman Aisyah) 5.       Ayah Aisyah 6.  ...