Disusun oleh:
Kelompok 3
Rudiyanto
Sintiyah
Takesi Anjarsari
Wasiri
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
atas kehadirat Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehinga kami mendapatkan
petunjuk, kekuatan dan kesabaran agar kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan judul “Relasi Makna”.
Adapun makalah ini merupakan syarat untuk menambah pengetahuan
tentang mata kuliah “Linguistik Umum”
dan melengkapi tugas dalam proses pembelajaran mata kuliah “Linguistik
Umum”. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karna itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan mendidik untuk
perbaikan selanjutnya.
Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembacanya. Terima kasih.
Indramayu,
Desember 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan
Dalam
suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi
makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk
bahasa Indonesia, sering kali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau
relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan kata atau satuan bahasa lainnya.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi),
kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas),
ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), dan kelebihan makna
(redundansi).
1.2 Rumusan Masalah
Penulisan
Bentuk permasalahan yang akan dibahas oleh penulis adalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian
relasi makna ?
2.
Apa
pengertian sinonimi ?
3.
Apa pengertian
antonimi?
4.
Apa
pengertian polisemi ?
5.
Apa pengertian
homonimi ?
6.
Apa
pengertian hiponimi ?
7.
Apa pengertian
ambiguitas?
8.
Apa pengertian
redundansi?
1.3
Tujuan Masalah Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan
tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1.
Mengetahui
tentang relasi makna.
2.
Mengetahui
tentang sinonimi.
3.
Mengetahui
tentang antonimi.
4.
Mengetahui
tentang polisemi.
5.
Mengetahui
tentang homonimi.
6.
Mengetahui
tentang hiponimi.
7.
Mengetahui
tentang ambiguitas.
8.
Mengetahui
tentang redundansi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Relasi Makna
Yang dimaksud
dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa
kata, frase maupun kalimat. Dan relasi makna itu dapat menyatakan kesamaan makna,
ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Dalam pembicaraan tentang relasi
makna ini biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim,
polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
2.1.1 Sinonimi
Sinonim adalah
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya antara kata betul dengan
kata benar, antara kata hamil dan frase duduk perut, dan antara kalimat Dika
menendang bola dengan bola ditendang Dika.
Relasi sinonim ini
bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan
ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret
kalau kata betul bersinonim dengan kata benar, maka kata benar
itu bersinonim dengan kata betul.
Dua buah ujaran
yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena
berbagai faktor, antara lain:
Pertama,
faktor waktu. Umpanya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
Namun kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan
tidak memiliki pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya
cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik. Contoh lain kata kempa
bersinonim dengan kata stempel, namun kata kempa juga hanya cocok
digunakan pada konteks klasik.
Kedua, faktor
tempat atau wilayah. Misalnya kata saya dan beta adalah dua buah
kata yang bersinonim. Namun ketika kata saya dapat digunakan di mana saja,
sedangkan kata beta hanya cocok digunakan di wilayah Indonesia timur atau
dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia timur.
Ketiga, faktor
keformalan. Misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tidak
formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Keempat,
faktor sosial. Misalnya kata saya dan aku adalah dua buah kata
yang bersinonim, tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada
siapa saja, sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang
sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukan
sosialnya.
Kelima,
bidang kegiatan. Misalnya kata matahari dan surya adalah dua buah
kata bersinonim. Namun kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja,
atau dapat digunakan secara umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan
pada ragam khusus, terutama ragam sastra.
Keenam, faktor
nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau,
dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Namun antara yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki
nuansa makna yang berbeda. Kata melihat memliki makna yang umum, kata melirik
memliki makna melihat dengan sudut mata, kata menonton memiliki makna melihat
untuk kesenangan, kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh,
dan kata mengintip memilki makna melihat dari atau melalui celah sempit.
Dengan demikian, kata-kata tersebut tidak dapat ditukar atau diganti karena memiliki
nuansa makna yang berbeda, meskipun kata-kata tersebut dianggap bersinonim.
Dari keenam faktor
tersebut, bisa disimpulkan bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu
dapat dipertukarkan atau disubtitusikan.
2.1.2 Antonimi
Antonim adalah
hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan
atau berlawanan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik, kata mati
berantonim dengan kata hidup, kata guru berantonim dengan kata murid,
dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
Hubungan antara dua
satuan ujaran yang berantonim juga bersifat dua arah. Jadi, kalau kata membeli
berantonim dengan kata menjual, maka kata menjual juga berantonim dengan
kata membeli.
Dilihat dari sifat
hubungannya, maka antonim itu dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain
:
Pertama,
antonim yang bersifat mutlak. Umpamanya kata hidup berantonim secara
mutlak dengan kata mati, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum
mati, dan sesuatu yang sudah mati tentuya sudah tidak hidup lagi. Contoh lain
kata diam secara mutlak berantonim dengan kata bergerak, sebab
sesuatu yang diam tentu tidak bergerak, dan yang sedang bergerak tentunya
sedang tidak diam.
Kedua,
antonim yang bersifat relatif atau bergradasi. Umpamanya kata besar dan kecil
berantonim secara relatif, juga antara kata jauh dan dekat, dan
antara gelap dan terang. Jenis antonim ini disebut bersifat
relatif, karena batasan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan
secara jelas, batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau kurang. Karena
itu, sesuatu yang tidak besar belum tentu kecil, dan sesuatu yang tidak dekat
belum tentu jauh. Karena itu pula kita dapat mengatakan, misalnya lebih dekat,
lebih jauh, atau juga paling dekat. Suatu objek dikatakan besar atau kecil
dalam kehidupan kita adalah karena diperbandingkan antara yang satu dengan yang
lainnya. Seekor kambing adalah menjadi sesuatu yang kecil ketika berada di
samping gajah, tetapi kambing akan menjadi sesuatu yang besar ketika berada di
samping anjing dan kucing.
Ketiga,
antonim yang bersifat relasional. Umpamanya antara kata membeli dan menjual,
antara kata suami dan isteri, dan antara kata guru dan murid.
Antonim jenis ini disebut antonim relasional karena munculnya yang satu harus
disertai dengan yang lain. Adanya membeli karena adanya menjual, adanya suami
karena adanya istri. Contoh konkret seorang laki-laki tidak bisa disebut
suami kalau tidak punya istri. Andai kata istrinya meninggal, maka dia bukan
suami lagi, melainkan sudah berganti nama, yaitu duda.
Keempat.
Antonim yang bersifat hierarki. Umpanya kata tamtama dan bintara
berantonim secara hierarki, juga antara kata gram dan kilogram.
Antonim jenis ini disebut hierarkial karena kedua satuan ujaran yang berantonim
itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki. Demikianlah, kata tamtama
dan bintara berada dalam satu garis kepangkatan militer, kata gram dan kilogram
berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.
Di dalam bahasa
Indonesia, mungkin juga di bahasa lain, ada satuan ujaran yang memiliki
pasangan antonim lebih dari satu antonim.
Hal yang seperti ini lazim disebut antonim majemuk. Umpamanya, kata berdiri
bisa berantonim dengan kata duduk, tidur, tiarap, jongkok, atau bersila.
2.1.3 Polisemi
Polisemi adalah bentuk
bahasa (kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Polisemi terjadi
akibat pergeseran makna, sehingga mempunyai hubungan antara semua makna kata itu.
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna
lebih dari satu.
Contoh 1
1. Toni jatuh
dari motor.
2. Harga cengkeh jatuh
pada tahun ini.
3. Setelah tiba di
rumah, ia jatuh sakit.
4. Nilainya jatuh
sehingga harus mengulang lagi di kelas XI.
Keempat kalimat di atas
memiliki satu kata yang sama, yaitu jatuh, tetapi maknanya berbeda. Kata
jatuh pada kalimat ke-1 mempunyai makna sebenarnya atau makna lugas,
yaitu terlepas. Pada kalimat ke-2 berarti merosot. Kalimat ke-3
bermakna menjadi atau menderita. Kalimat ke-4 bermakna gagal atau tidak
berhasil
Contoh 2
1. Buah apel merupakan
oleh oleh khas kota malang
(kata buah bermakna buah buahan)
2. Ayana memiliki buah
hati yang bernama Nabila
(kata buah bermakna anak)
3. Nadzar membawa buah
tangan dari kota Madura
(
kata buah bermakna oleh-oleh)
Contoh 3
1.
Kepalanya
luka terkena pecahan kaca
(makna
sebenarnya/leksikal/denotatif)
2.
Kepala
kantor itu bukan paman saya
(karena kepala
memiliki fungsi yang penting)
3.
Kepala
surat biasanya berisi nama dan alamat kantor
(karena kepala
berada di atas)
4.
Kepala
jarum itu terbuat dari plastik
(karena kepala
berbentuk bulat)
5.
Yang
duduk di kepala meja itu tentu orang penting
(karena kepala
bagian yang penting dan terhormat)
2.1.4 Homonimi
Homonimi
adalah “Dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya ‘kebetulan’ sama;
maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang
berlainan”(Chaer, 2007: 302).
Verhaar dalam Chaer (2009: 94) mengatakan
homonimi adalah ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya
tidak sama.
Faizah
(2010:73) menjelaskan bahwa homonimi
yaitu relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama tetapi
maknanya berbeda.
Keraf
(1969:129) menjelaskan bahwa homonim yaitu kata-kata yang mempunyai bentuk yang
sama tetapi artinya berbeda.
Alwasilah
(1983:150) menjelaskan bahwa homonimi adalah beberapa kata yang diucapkan
persis sama tapi artinya berbeda.
Sartuni
(1987:40) menjelaskan bahwa homonim ialah bentuk dan ucapannya sama sedangkan
maknanya berbeda.
Jadi,
homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya
karena berasal dari sumber yang berlainan
Contoh 1
a) Antara kata bisa yang artinya “racun
ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup”
b) Antara
kata mengurus yang berarti “mengatur” dan kata mengurus
yang berarti “menjadi kurus”.
Contoh
kalimatnya:
a) - Ular itu memiliki bisa yang sangat
mematikan.
-Saya pasti bisa melakukanya.
b) -Ibu itu sedang mengurus anak-anaknya.
- Tubuhnya semakin hari semakin mengurus
Contoh 2
kata “mental” dalam arti mental (kepribadian )
dengan kata mental ( terpelanting ).
Contoh kalimatnya :
-Anak itu memiliki
mental yang kuat.
-Dodi mental ke aspal
jalanan setelah terjatuh dari motornya.
Ada dua istilah lain
yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan
homografi
·
Homofoni
Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi
antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama
ataukah berbeda (Chaer, 2007: 303).
Contoh
kata:
Kata bank yang berarti ‘lembaga
keuangan’ dengan kata bang yang bermakna
‘kakak
laki-laki’
Contoh
dalam kalimat:
1. Ibu meminjam uang di bank.
2. Bang Ali menjual bakso.
·
Homografi
Homografi adalah bentuk ujaran yang sama ejaannya,
tetapi ucapan dan maknanya tidak sama (Chaer, 2007: 303).
Contoh kata:
Kata memerah /məmərah/ yang berarti
‘melakukan perah’ dan kata memerah /məmerah/ yang artinya
‘menjadi merah’.
Contoh kalimatnya:
- Andi memerah
susu sapi di peternakan ayahnya.
- Wajah messi memerah setelah diejek rekan setimnya.
2.1.5 Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercangkup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umapamanya antara kata merpati dan burung. Di sini kita lihat makna kata merpati tercangkup dalam makna kata burung. Kita dapat
mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukan hanya merpati,
bisa juga tekukur, perkutut, dan
cendrawasi.
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan
merpati, melainkan
berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati
adalah hiponim dari burung, maka burung adalah hipermin dari merpati.
Dilihat dari segi lain, masalah hiponimi dan hipernimi sebenarnya
tidak lain dari usaha untuk membuat klasifikasian terhadap konsep akan adanya
kelas-kelas generik dan spesifik. Jadi, merpati,
tekukur, dan perkutut adalah nama-nama spesifik untuk kelas generik burung. Begitu juga mawar, melati, dan anggrek adalah nama-nama spesifik untuk
kelas genetik bunga.
2.1.6 Ambiguiti
Ambiguiti atau
ketaksaaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi
pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat
digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku
sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi : (1) buku
sejarah itu baru terbit, atau (2) buku
itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna (1) dan (2) itu terjadi
karena kata baru yang ada dalam konstruksi itu, dapat dianggap menerangkan
frase buku sejarah, dapat juga
dianggap hanya menerangkan kata sejarah.
Bentuk ujaran anak dosen yang nakal
juga bermakna ganda. Maknanya mungkin (1)
anak itu yang nakal, atau bisa juga (2)
dosen itu yang nakal. Kedua
makna itu karena tafsiran gramatikalnya tidak sama.
Ketaksaan dapat
juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda, tetapi karena masalah
homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Misalnya dalam kalimat seperti ini.
a.
Mereka
bertemu paus
Dapat ditafsirkan (1) mereka
bertemu sejenis ikan besar, dan dapat juga berarti (2) mereka bertemu dengan pemimpin agama katolik yang ada di Roma. Kata
paus dalam arti (1) dan arti (2)
bentuknya merupakan homonimi.
b.
Dia
memang bukan orang kudus
Begitu juga kata kudus dalam kalimat diatas dapat difafsirkan “suci” atau nama kota di Jawa Tengah.
Dari pembicaraan di atas hanya terlihat bahwa ketaksaan itu hanya
terjadi dalam bahasa tulis, akibat dari perbedaan gramatikal karena ketiadaan
unsur intonasi. Namun ketaksaan itu juga dapat terjadi dalam bahasa lisan,
meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena
ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis. Perhatikan teks berikut.
a.
Ujang
dan Nanang bersahabat karib.
Dia
sangat mencintai istrinya.
Cobalah jawab, siapa yang mencintai istri siapa? Kemungkinanya
adalah (1) Ujang mencintai istri Ujang, (2) Ujang mencintai istri Nanang, (3) Nanang mencintai istri Nanang, dan (4) Nanang mencintai istri Ujang. Keempat tafsiran itu terjadi karena
kata ganti dia dan nya tidak jelas mengacu kepada siapa.
Dalam hal membedakan polisemi dengan ambiguti perlu
diingat, bahwa polisemi biasanya hanya tataran kata, dan makna-makna yang
dimilikinya yang lebih dari satu itu, berasal dari ciri-ciri makna leksikal
yang dimilikinya. Oleh karena itu, makna-maknanya itu masih mempunyai hubungan
antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan ambiguiti adalah salah satu bentuk
ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan tafsiran
gramatikal.
2.1.7 Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya
unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umpamanya kalimat bola itu
ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu
ditendang Dika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Nah,
penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi, berlebih-lebihan.
Begitu juga dengan kalimat Nita mengenakan baju berwarna merah, tidak
akan berbeda maknanya dengan Nita berbaju merah. Maka bentuk pertama
disebut redundansi, terlalu berlebih-lebihan dalam menggunakan kata.
Sebenarnya menurut
teori semantik yang diajukan Verhaar (1978), makna kalimat bola itu
ditendang oleh Dika dan bola itu ditendang Dika adalah tidak sama.
Yang sama hanyalah informasinya. Dengan adanya kata oleh pada kalimat
pertama, maka peran objek pelaku lebih ditonjolkan. Sedangkan pada kalimat
kedua penonjolan peran pelaku itu tidak ada. Memang dalam ragam bahasa baku
kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efesien, sehingga kata-kata
yang dianggap berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna
(lebih tepat informasi), harus dibuang. Namun dalam analisis semantik, setiap
penggunaan unsur segmental membawa makna masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, makna kata
saling berhubungan, hubungan kata itu disebut relasi makna. Relasi makna dapat
berwujud bermacam- macam antara lain Sinonim sering disebut dengan
persamaan kata. Antonimi sering disebut dengan lawan kata, Polisemi lazim
diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna
lebih dari satu. Homonimi adalah 2 buah kata atau satuan ujaran yang
bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing
merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Homofoni adalah adanya
kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaan. Homografi mengacu
pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya tetapi ucapan dan
maknanya tidak sama. Hifonimi adalah hubungan sematik antara sebuah
bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang
lain. Ambiguitas adalah hubungan sematik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Istilah redudansi
biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran.
3.2 Saran
Demikian tugas yang bisa kami persembahkan. Tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul.2014.Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
No comments:
Post a Comment