Disusun
oleh KELOMPOK 5 :
Windy
Afiyatun
Dewi
Dwiyanti
Wasiri
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
Swt. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami mendapatkan petunjuk, kekuatan, dan
kesabaran agar kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Masyarakat Madani Dan Kesejahteraan Umat”
Adapun makalah ini merupakan syarat untuk menambah pengetahuan
tentang mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” dan melengkapi tugas dalam
proses pembelajaran mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan
mendidik untuk perbaikan selanjutnya.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya.
Terima kasih.
Indramayu, 2 Desember 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Penulisan
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan
amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan
tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”,
meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau
peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,
seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok
lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan
sifat-sifat luhur lainnya.
Kita
juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya
dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang
(tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang
melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka
kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
1.2 Rumusan
Masalah Penulisan
Adapun
rumusan masalah yang diangkat oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud masyarakat madani?
2. Bagaimanakah
konsep masyarakat madani?
3. Bagaimanakah
masyarakat madani dalam sejarah?
4. Bagaimana
peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
5. Bagaimana
karakteristik masyarakat madani?
6. Bagaimana
prasyarat menuju masyarakat madani?
7. Bagaimana
sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
1.3 Tujuan
Penulisan
Makalah
ini didedikasikan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang
berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Tujuan lainnya adalah dengan
menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui
perspektif pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat
yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam
penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat
madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15
Artinya : Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun".
Dalam mendefinisikan tema
masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosial kultural suatu bangsa,
karena bagaimana pun konsep masyarakat madani merupakan bangunan tema terakhir
dari sejarah bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, di sisi lain dikemukakan
beberapa definisi masyarakat madani:
1. definisi
yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew
dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Ia
mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
2. Han-Sung-Joo
ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang
terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu
politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan independen,
yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi
indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok
inti dalam civil society.
3. Kim Sun Hyuk ia
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan
yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan
gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative.
Secara
global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang
dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat
yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang
publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang
dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan publik.
2.2
Konsep Masyarakat Madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil
society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurkholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna
Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep
civil society lahir dan berkembang dari sejarah perkumpulan masyarakat. Cicero
adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque,
JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarki-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di
luar menjadi “Islami”. Melihat dari subtansi civil society lalu
membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran
atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan
persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan
dan persamaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan
Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil
society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Dari alasan ini Ma’arif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah
masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai
etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafi’i Ma’arif, 2004: 84).
Masyarakat
madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan
makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata
civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat
militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering
digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place
outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
2.3
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada
dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat
madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu
masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah
terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam
dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus
dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.
2.4
Karakteristik Masyarakat Madani
Karakteristik
masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana
masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai
universal dalam penegakan masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:
1. Free
public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik.
2. Demokratisasi,
yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan
masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan
anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta
kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan
demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan
pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
(1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(2) Pers yang bebas
(3) Supremasi hukum
(4) Perguruan Tinggi
(5) Partai politik
3.
Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik
dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4.
Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan
menerima kenyataan masyarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa
kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha
Kuasa.
5.
Keadilan sosial (social justice), yaitu
keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6.
Partisipasi sosial, yaitu partisipasi
masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun
intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan
kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7.
Supremasi hukum, yaitu upaya untuk
memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara
netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama
tanpa kecuali.
Adapun
yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia
diantaranya :
(1) Kualitas SDM yang belum memadai karena
pendidikan yang belum merata
(2) Masih rendahnya pendidikan politik
masyarakat
(3) Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil
pasca krisis moneter
(4) Tingginya angkatan kerja yang belum terserap
karena lapangan kerja yang terbatas
(5) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam
jumlah yang besar
(6) Kondisi sosial politik yang belum pulih
pasca reformasi.
Dalam Al-Qur’an
Surat An-Nissa’ ayat 59
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nissa’:59)
2.5 Prasyarat
Menuju Masyarakat Madani
Namun
demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa
udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang
dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus.
Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan
sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governmance
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security, civil responsibility dan civil resilience).
Apabila
diurai, kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai
berikut.
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya
modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif
bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak
adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya
hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang
memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara
produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa
prasyarat tersebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.
Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang
tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar
hak asasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu
diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley,
1992).
2.6 Peran
umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi
pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang
kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan
kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan
terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu
Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
2.6.1
Kualitas SDM Umat Islam
Dalam
Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110
Artinya : ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Dari
ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat
yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek
kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non
Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu
sifatnya normatif, potensial, bukan riil.
2.6.2
Posisi Umat Islam
SDM
umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Baik dalam
bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum
mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam
lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
2.7 Sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat
Menurut
ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah
berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara
seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran
tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas
dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini
berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada
pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak
milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa
yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan
manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah
ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas
hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan
sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di
dalamnya.
Di
dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun
atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua,
tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan
tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam
memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama
derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di
muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi
yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap
masyarakat.
Allah
melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya
dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan
dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa
semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada
masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu,
akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam
masyarakat.
Dalam
Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian
yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu)
tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat
Allah.
Dalam
ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya.
Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya
harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah.
Banyak
ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain
Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan
mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi
sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak
kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam
ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam
masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan
melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dalam
mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang
terdapat pada pada zaman Rasullullah.
Selain
memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia
yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena
semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam
maka akan semakin baik pula hasilnya.
Di
dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut
masyarakat madani. Selain itu, ada pula wakaf, wakaf selain untuk beribadah
kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang
muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi ibadah,
fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam
dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara
perlahan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
wikipedia.com
No comments:
Post a Comment