Saturday, November 12, 2016

Makalah perkembangan peserta didik



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Penulisan
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna melebihi makhluk lain dimuka bumi, namun dari kelebihannya itu manusia juga  mempunyai kelemahan yaitu mempunyai sifat yang lebih jahat dari binatang buas dan sebagainya.
Pada dasarnya peserta didik sebagai manusia mempunyai kelebihan yaitu fisik yang sempurna, mempunyai hati dan mempunyai otak yang jika dalam kesehariannya dibiarkan tanpa ada arahan atau bimbingan yang baik dari guru, orang tua dan sebagainya, maka ketiga usur tersebut tidak dapat berjalan dalam arah yang positif, lingkungan sangat mempengaruhi asumsi dan ketiga dimensi peserta didik tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut cara yang harus diambil antara lain adalah dengan membawa peserta didik kepada keaktifan yang lebih komprehensif yang mengarah ke arah yang positif baik itu secara fisikiologis maupun psikisnya.
1.2  Rumusan Masalah Penulisan
1.      Apa pengertian tentang sepirutual?
2.      Apa pengertian tentang intelektual?
3.      Apa kecerdasan sepiritual?
4.      Apa kecerdasan intelektual?
5.      Apa Pengertian Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik?
6.      Kapan Terjadinya Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian spiritual.
2.      Mengetahui pengertian intelektual.
3.      Mengetahui kecerdasan spiritual.
4.      Mengetahui kecerdasan intelektual.
5.      Mengetahui Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik.
6.      Mengetahui Kapan Terjadinya Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual.
BAB II
PEMBAHASAN
       2.1       Pengertian Sepiritaual
Didik Echoks dan Shadily dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan.
Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun
.
       2.2       Pengertian Intelektual
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, kata ‘intelektual’ berkaitan dengan kata ‘intelek’. Intelek berarti “istilah psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.” Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
 Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan. Intelek berasal dari kosakata Latin: intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Dari pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan (kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indera serapan. Intelektualisme berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indera serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh.

       2.3       Kecerdasan Sepiritual
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa
Spiritual Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa
Spiritual Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Berbagai paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal ini, Spiritualitas juga memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja, berdasarkan penelitian. Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil yang positif bagi remaja.
Agama juga memiliki peran dalam kesehatan remaja dan masalah prilaku mereka Kebanyakan remaja yang religious menerapkan pesan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama.
Kecerdasan spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif) disertai  kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the religious experiences).
Dalam hal ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan kecerdasan spiritual saat:
1.     Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ menjadikan siswa sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
2.     Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
3.      Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. 
4.     Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa memiliki potensi untuk itu.
5.      Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.


       2.4       Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah informasi menjadi fakta
Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient, disingkat IQ) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.








       2.5       Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik
a.        Dimensi Spiritual / Nurani (nalar hati)
Nurani juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Nalar hati sering diidentikan dengan perasaan pribadi. Nurani memiliki nilai lebih dalam sifat-sifat kemanusiaan. Peserta didik merupakan makhluk yang memiliki energi spiritual. Sebagai makhluk spiritual, peserta didik memiliki jiwa dan sangat pribadi. Dimana, didalamnya terkandung sikap yang suci untuk saling mengasihi, membangun aspirasi dan harapan serta visi. Dimensi spiritual ini merupakan nilai kemanusiaan sejati. Dengan nilai-nilai spiritual itu pun peserta didik akan dapat mengenal diri sendiri. Satu hal yang tidak kalah penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang diidentifikasikan sebagai penembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta didik adalah hubungan mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir merupakan alat untuk membuat keputusan.
b.        Dimensi Intelektual atau Pikiran (nalar otak)
Pikiran juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Pikiran biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-kadang tidak sama dengan apa yang diinginkan oleh nalar hati. Dalam kehidupan sehari-hari istilah pikiran sering dianggap identik dengan istilah penalaran, kecerdasan, intelegensi. Tetapi bisa pula diartikan bahwa pikiran adalah hasil kegiatan berfikir. Kegiatan berfikir menggunakan sarana atau alat yang disebut akal dan otak. Dengan demikian yang dimaksud dengan perkembangan pikiran adalah kemampuan berpikir manusia. Pada masa anak-anak pikiran telah nampak perkembangannya tahap demi tahap.



       2.6       Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.      Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
2.      Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
3.      Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
4.      Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik
5.      Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.
6.      Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7.      Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.

Para ahli psikologi sepakat bahwa perkembangan pikiran terjadi paling pesat pada masa 3 samapai 6 tahun. Pada masa ini, pikiran anak-anak pada umumnya benar-benar telah jalan, misalnya ketika anak sedang berbicara dengan temannya. Dalam pembicaraan itu bisa terjadi tanya jawab yang dilakukan secara bersama, apa yang dilakukan anak memerlukan kerja pikiran, supaya pembicaraannya masuk akal dan tidak dikritik oleh teman-teman. Pada usia dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung).








BAB III
KESIMPULAN
3.1  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan
Sedangkan intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Intelektual inteligensi dijalankan oleh nalar (otak) atau kognitif seseorang. Sedangkan Spiritual inteligensi dijalankan oleh nalar (hati). Dari kedua kecerdasan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain dalam aplikasi di kehidupan dan dunia pendidikan. Memiliki kecerdasan intelektual tinggi tanpa adanya kecerdasan spiritual akan membawa dampak yang buruk. Selain itu, adanya kecerdasan spiritual yang baik tanpa ada kecerdasan intelektual yang baik akan berdampak yang buruk pula.

3.2 Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita perlu memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan kecerdasan spiritual kita. Kecerdasan spiritual menjadi landasan dalam mejalankan kecerdasan intelektual. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar akan dapat mengembangkan kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik, selain dari saran tersebut penulis menyadari dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih baik

Naskah Drama "Balada Saridin"

Pemain : 1.       Saridin 2.       Aisyah 3.       Sari (teman Aisyah) 4.       Siti (teman Aisyah) 5.       Ayah Aisyah 6.  ...