BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Penulisan
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna melebihi makhluk lain dimuka bumi, namun dari kelebihannya itu manusia juga mempunyai kelemahan yaitu mempunyai sifat yang lebih jahat dari binatang buas dan sebagainya.
Pada dasarnya peserta didik sebagai manusia mempunyai kelebihan yaitu fisik yang sempurna, mempunyai hati dan mempunyai otak yang jika dalam kesehariannya dibiarkan
tanpa ada arahan atau bimbingan yang baik dari guru, orang tua dan sebagainya, maka ketiga usur tersebut tidak dapat berjalan dalam arah yang positif, lingkungan sangat mempengaruhi asumsi dan ketiga dimensi peserta didik tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut cara yang harus diambil antara lain adalah dengan membawa peserta didik kepada keaktifan yang lebih komprehensif yang mengarah ke arah yang positif baik itu secara fisikiologis maupun psikisnya.
1.2 Rumusan
Masalah Penulisan
1.
Apa pengertian tentang sepirutual?
2.
Apa pengertian tentang intelektual?
3.
Apa kecerdasan sepiritual?
4.
Apa kecerdasan intelektual?
5.
Apa Pengertian Dimensi Spritual dan
Intelektual Peserta Didik?
6.
Kapan Terjadinya Perkembangan
Sepiritual Dan Intelektual?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian spiritual.
2.
Mengetahui pengertian intelektual.
3.
Mengetahui kecerdasan spiritual.
4.
Mengetahui kecerdasan intelektual.
5.
Mengetahui Dimensi Spritual dan
Intelektual Peserta Didik.
6.
Mengetahui Kapan Terjadinya
Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Sepiritaual
Didik Echoks dan Shadily dalam Desmiata
berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu
”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat.
Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal
dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath), keteguhan
hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan.
Dari kutipan diatas dapat diartikan
bahwa spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan
yang dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi
karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang.
Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau
kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian
diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya
dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai
apapun
.
2.2 Pengertian
Intelektual
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, kata
‘intelektual’ berkaitan dengan kata ‘intelek’. Intelek berarti “istilah
psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan
dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek juga
berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.” Sedangkan
kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan.
Kata
intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau
juga disebut kaum cendekiawan. Intelek berasal dari kosakata Latin: intellectus
yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari
kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini
berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih
menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal
yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Dari pengertian istilah,
intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan pengenalan
(kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan
indera serapan. Intelektualisme berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat
Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indera
serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh.
2.3 Kecerdasan
Sepiritual
Kecerdasan spiritual
dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak
dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat menggerakan
kecerdasan lainnya. Kecerdasan
spiritual merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai
makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa
“Spiritual
Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence
because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual
intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat
tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang
menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang
secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar
dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah
kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap pemikiran, prilaku dan
kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan komperhensif. Oleh karena
itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas kecerdasan
spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap
individu dalam menjalani kehidupan, termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan
spritual merupakan inti yang dapat menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual
merepresentasikan motif dasar individu dalam pencarian makna sebagai makhluk.
Stephen Covey mengungkapkan bahwa
“Spiritual
Intelligence is the central and most fundamental of all the intelligence
because it becomes the source of guidance of the other three. Spiritual
intelligence represents our drive for meaning and connection with infinite”.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan
spiritual merupakan jembatan yang menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan
dimensi-dimensi kecerdasan lain yang secara fitrah telah diberikan oleh Yang
Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value,
yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ,
kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap
pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ
dengan komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan
meningkatkan kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup
yang harus dimiliki.
Berbagai paparan konsep mengenai spiritualitas di atas
dapat dipahami bahwa spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
setiap individu yang diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Dalam hal
ini, Spiritualitas juga memiliki dampak positif terhadap kehidupan remaja,
berdasarkan penelitian. Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama
terkait dengan hasil yang positif bagi remaja.
Agama juga memiliki peran dalam kesehatan remaja dan
masalah prilaku mereka Kebanyakan remaja yang religious menerapkan pesan kasih
sayang dan kepedulian terhadap sesama. Spiritualitas dalam konteks perkembangan
anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan
diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan
spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan
sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan
yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa
mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan
dengan sesama.
Kecerdasan spiritual berkembang bersama
fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif) disertai kejernihan akal budi (kognitif).
Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk mengalami, mempercayai, bahkan
meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya kekuatan yang Mahaagung
yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah yang disebut penghayatan
keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the religious experiences).
Dalam hal ini, peserta didik dapat
menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada diujung masalah eksistensial
yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan dan dikenal, di
luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan
melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk
menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta
menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan peserta didik
biasanya menggunakan kecerdasan spiritual saat:
1. Siswa selaku
peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa merasa
terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ
menjadikan siswa sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat
siswa mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan
masalah tersebut, SQ memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan
hidup.
2. Siswa
menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin menjadi
luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
3. Siswa dapat
menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa
siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di
balik ekspresi nyata.
4. Siswa
menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa
memiliki potensi untuk itu.
5. Kecerdasan
spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.
2.4 Kecerdasan
Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah ukuran kemampuan
intelektual, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ merupakan kecerdasan
otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah informasi menjadi fakta
Kecerdasan
intelektual (bahasa Inggris:
intelligence quotient, disingkat IQ) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menjelaskan sifat pikiran
yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa,
dan belajar. Kecerdasan erat
kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur
dengan menggunakan alat psikometri
yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan
bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan
usia kronologis.
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi
dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat
mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan
untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari
Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes
kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai
taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara
keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut
dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya
bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai
usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah
aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya
sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun
demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan
kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel
saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya
organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak
yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius
memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa
memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang
ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang
peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ
atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya
tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga
ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan
berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak
seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar
dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab
kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan
fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat
IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung
antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ
tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.
2.5 Dimensi
Spritual dan Intelektual Peserta Didik
a.
Dimensi Spiritual /
Nurani (nalar hati)
Nurani juga dapat
dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Nalar
hati sering diidentikan dengan perasaan pribadi. Nurani memiliki nilai lebih
dalam sifat-sifat kemanusiaan. Peserta didik merupakan makhluk yang memiliki
energi spiritual. Sebagai makhluk spiritual, peserta didik memiliki jiwa dan
sangat pribadi. Dimana, didalamnya terkandung sikap yang suci untuk saling
mengasihi, membangun aspirasi dan harapan serta visi. Dimensi spiritual ini
merupakan nilai kemanusiaan sejati. Dengan nilai-nilai spiritual itu pun
peserta didik akan dapat mengenal diri sendiri. Satu hal yang tidak kalah
penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang
diidentifikasikan sebagai penembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta
didik adalah hubungan mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir
merupakan alat untuk membuat keputusan.
b.
Dimensi Intelektual
atau Pikiran (nalar otak)
Pikiran juga dapat
dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Pikiran
biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-kadang tidak sama
dengan apa yang diinginkan oleh nalar hati. Dalam
kehidupan sehari-hari istilah pikiran sering dianggap identik dengan istilah
penalaran, kecerdasan, intelegensi. Tetapi bisa pula diartikan bahwa pikiran
adalah hasil kegiatan berfikir. Kegiatan berfikir menggunakan sarana atau alat
yang disebut akal dan otak. Dengan demikian yang dimaksud dengan perkembangan
pikiran adalah kemampuan berpikir manusia. Pada masa anak-anak pikiran telah
nampak perkembangannya tahap demi tahap.
2.6 Perkembangan
Sepiritual Dan Intelektual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita mengusulkan tahap perkembangan
spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan
intelektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap
perkembangan agama itu adalah:
1.
Tahap prima faith. Tahap kepercayaan
ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia
anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual.
Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara
anak dan pengasuhnya.
2.
Tahap intuitive-projective, yang
berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat
peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil
pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa, anak kemudian berhasil
merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian sepontan serta
gambaran intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
3.
Tahap mythic-literalfaith, Dimulai
dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak
secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran
tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang
bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu
tegas.
4.
Tahap synthetic-conventionalfaith,
yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja
melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang dianggap sakral.
Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai
“pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu,
Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap sang khalik
5.
Tahap individuative- reflectivefaith,
yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i
mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap
kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan
penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280)
pada tahap ini ditandai dengan:
a.
Adanya kesadaran terhadap
relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak
kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.
Mengabaikan kepercayaan terhadap
otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab
dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk
identitas diri.
6.
Tahap Conjunctive-faith, disebut
juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai
masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan
simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang
juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan,
yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7.
Tahap universalizing faith, yang
berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan
munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan,
serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap
ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran
ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang
berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif
orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
Para ahli
psikologi sepakat bahwa perkembangan pikiran terjadi paling pesat pada masa 3
samapai 6 tahun. Pada masa ini, pikiran anak-anak pada umumnya benar-benar
telah jalan, misalnya ketika anak sedang berbicara dengan temannya. Dalam
pembicaraan itu bisa terjadi tanya jawab yang dilakukan secara bersama, apa
yang dilakukan anak memerlukan kerja pikiran, supaya pembicaraannya masuk akal dan tidak dikritik oleh teman-teman. Pada usia
dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau
melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau
kemampuan kognitif (seperti membaca, menulis, dan menghitung).
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang ada pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
Bahwa spiritual
adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang
dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena
pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan
Sedangkan
intelektual
berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu
pengetahuan. Intelektual inteligensi dijalankan oleh
nalar (otak) atau kognitif seseorang. Sedangkan Spiritual inteligensi dijalankan
oleh nalar (hati). Dari kedua kecerdasan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain dalam aplikasi
di kehidupan dan dunia pendidikan. Memiliki kecerdasan intelektual tinggi tanpa
adanya kecerdasan spiritual akan membawa dampak yang buruk. Selain itu, adanya
kecerdasan spiritual yang baik tanpa ada kecerdasan intelektual yang baik akan
berdampak yang buruk pula.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis
memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita perlu memiliki kecerdasan
intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan kecerdasan spiritual kita.
Kecerdasan spiritual menjadi landasan dalam mejalankan kecerdasan intelektual.
Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar
akan dapat mengembangkan kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik,
selain dari saran tersebut penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis
harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih
baik
No comments:
Post a Comment