“Sastrawan dan Pembaca”
Nama Mahasiswa : - Ikhwatun Nafisah
-
Titi Yuhana
Progam Studi : PBSI A
Semester : 2 (Dua)
PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
NAHDLATUL ULAMA
STKIP NU KAPLONGAN INDRAMAYU
SK DIRJEND DIKTI NO. 439/E/O/2012
Jl. Raya Kaplongan no. 28 Karangampel – Indramayu Telp.
(485048 – 486777 fax. (0234) 486008
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahiwabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Sastrawan Dan
Pembaca”
Makalah
ini disusun dengan tujuan untuk membantu mahasiswa dalam mempelajari mata
kuliah teori belajar sastra.
Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum sempurna, baik dari segi isi, metode dan bahasa. kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum
warahmatullahiwabarakatuh
Indramayu, Maret
2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sastra atau dalam bahasa Sansakerta yaitu shastra yang berarti
“teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang
berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”.
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada
“kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan
tertentu. Definisi Karya sastra merupakan suatu hasil karya manusia baik lisan
maupun nonlisan (tulisan) yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan
memiliki nilai estetik (keindahan bahasa) yang dominan.contoh karya sastra
adalah puisi, cerpen, novel, drama. Karya Sastra sudah muncul sejak lama, dan
karena perkembangannya, Lahirlah karya sastra baru atau modern.
1.2
Rumusan
Masalah penulisan
a.
Apa itu Pembaca Karya Sastra ?
b.
Apakah Hubungan Sastrawan dengan Pembaca ?
c.
Bagaimana Pandangan Ahli terhadap Pembaca
Sastra ?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
:
a.
Agar
Mahasiswa dapat memahami tentang
Pembaca Karya Sastra.
b.
Agar
Mahasiswa dapat mengetahui Hubungan
Sastrawan dengan Pembaca.
c.
Agar Mahasiswa mengetahui pandangan
dari para ahli tentang pembaca sastra
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pembaca Karya Sastra
Dalam satu seminar Hiski di Malang, 26-28 November 1990, Sapardi
Djoko Damono
pernah ditanya oleh salah seorang peserta seminar tentang pengertian sastra.
Menurut Sapardi, karya sastra adalah
karya yang dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai karya sastra, berwujud karya
sastra, dan diterima oleh masyarakat sebagai karya sastra. Dari penjelasan
sapardi itu dapat diketahui bahwa pembaca sangat berperan dalam menentukan
sebuah karya itu merupakan karya sastra atau bukan. Sadar atau tidak, sengaja
atau tidak, akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada
pembaca. Sebagai sebuah keutuhan komunikasi sastrawan-karya
sastra-pembaca.Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai karya
sastra itu dibaca.Pembacalah yang menerapkan kode yang ditulis sastrawan untuk
menyampaikan pesan (Salden, 1985:
106-107).
Horatius dalam ars poetika (14 sm)
menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun
sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan. Horatius
menggabungkan utile dan dulce, yang bermanfaat dan yang enak
secara bersama-sama.Dari pendapatnya inilah awal pendekatan
pragmatik.Pendekatan pragmatik adalah bidang kajian sastra yang menitik
beratkan kajiannya terhadap peran pembaca.Dari pendekatan pragmatik kita
mengenal resepsi sastra.Resepsi sastra adalah kajian yang mempelajari bagaimana
pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat
memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun tanggapan
aktif. Pentingnya
peranan pembaca dalam memberikan arti terhadap karya sastra dapat dilihat pada
kenyataan bahwa karya yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh pembaca yang
berbeda (junus, 1985). Dalam
bidang kritik, Damono (1983) menyatakan, “dua orang kritikus tidak mungkin
menghasilkan kritik-kritik yang persis sama meskipun
mereka telah bertemu dengan sajak yang sama”.
2.2
Hubungan
Sastrawan dengan Pembaca
Hubungan sastrawan dengan pembaca
sangat khas. Kekhasan ini secara selintas dapat
ditinjau dari sifat komunikasi dan pelaku komunikasi, yakni sastrawan, bahasa yang
digunakan
dan pembaca sastra.
Pertama hubungan sastrawan dengan
pembacanya sangat khas dari sifat komunikasinya. Hubungan sastrawan dengan pembaca adalah hubungan timbal
balik. Pada awal komunikasi, sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya
berangkat dari praanggapan
yang sama. Sastrawan dan pembaca harus sadar bahwa yang mereka baca adalah
karya sastra yang didalamnya berisi antara kenyataan dan khayalan. Dalam
dunia sastra, praanggapan ini dinamakan konvensi sastra. Konvensi ini bisa meliputi bidang bahasa karya
sastra, isi karya sastra, genre karya sastra, struktur karya sastra juga bisa
aspek-aspek sosio-budaya karya sastra. Sebagai contoh, sastrawan dan pembaca
sadar bahwa bahasa yang ada dalam puisi, cerpen, atau drama akan berbeda dengan
bahasa praktis yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari meskipun kata-kata
atau kalimat yang digunakan sama. Bahasa yang ada didalam karya sastra sudah
mengalami pengubahan seperti penggalian, penambahan, atau pengurangan
makna.Kaum formalis berpendapat bahwa kesustraan sebagai satu pemakaian bahasa
yang khas yang mencapai perwujudannya lewat deviasi (penyimpangan) dan distorsi
(pemutarbalikan) dari bahasa praktis.Bahasa praktis digunakan untuk tindak
komunikasi, sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis.(Selden, 1985: 8-11)
Sastrawan yang
mengetahui konvensi yang sudah ada di benak pembaca bisa mengambil sikap
mengikuti dan memanfaatkan konvensi itu. Sastrawan yang mengambil sikap
mengikuti konvensi bisa berangakat dari praanggapan yang sama dengan pembaca
dan tetap setia untuk menghasilkan karya sastra yang sesuai dengan praanggapan
tersebut. Ia akan
menyampaikan informasi
yang given, yaitu informasi
yang sudah dimiliki pembaca tentang sastra. Sastrawan yang sudah mengetahui
selera remaja, akan menulis karya sastra
yang sesuai dengan anak remaja dan mengirimkan karyanya ke majalah remaja.
Seorang sastrawan yang mengetahui selera ibu rumah tangga, akan menulis karya
sastra yang sesuai dengan selera ibu rumah tangga dan akan mengirimkannya ke
majalah khusus ibu rumah tangga. Tidak semua pembaca menyukai sastrawan yang
selalu mengikuti selera pembaca.Ada pembaca yang justru ingin dikejutkan oleh
kepandaian sastrawan. Pembaca yang suka membaca cerita detektif akan kecewa
apabila pada awal-awal membaca ia sudah menebak dengan jelas bagaimana akhir
cerita itu. Dalam cerita detektif, pembaca justru ingin ditipu oleh kelihaian
sastrawan.
Sastrawan bahkan bisa
menentang konvensi dan menyodorkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lain dari
apa yang telah dikenal oleh pembaca. Sastrawan menyampaikan imformasi yang new,
informasi baru yang belum dimiliki
pembaca.Contohnya, selama ini nyi roro kidul dimitoskan oleh masyarakat sebagai
wanita penguasa pantai selatan.Ia dilukiskan sebagai seorang wanita dari
makhluk halus yang cantik, berambut panjang, berkain panjang, dan berkeranda
kereta kuda. Ada sebuah cerpen yang menceritakan sebuah adegan pembuatan film
tentang nyi roro kidul.Penulis ingin mempermainkan pemahaman masyarakat tentang
citra nyi roro kidul.Dalam cerpen itu diceritakan bahwa salah satu kru film
didatangi seorang wanita yang berpenampilan modis yang ternyata nyi roro kidul.
Karena kepandaian mempermainkan pembaca, putu
wijaya dikenal sebagai sastrawan teror mental atau penggedor sukma.dalam
cerita-ceritanaya putu wijaya ingin selalu memberi kejutan kepada pembacanya,
baik melalui tokoh-tokoh, pesan, cara pandang terhadap suatu masalah, atau
bahkan alur cerita. Munculnya karya-karya yang mendapatkan penghargaan lomba
atau karya-karya monumental, antara lain disebabkan oleh sesuatu yang baru yang
berbeda dengan karya-karya sebelumnya, selain karya itu memang mempunyai nilai
yang tinggi.
Kedua, kekhasan komunikasi antara
sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri pembaca itu sendiri.Pada saat
membaca karya sastra, pembaca tidak dapat langsung berkomunikasi dengan
sastrawan.Ia hanya menghadapi teks sastra.
Pembaca sastra adalah pemilih, penerima, penafsir, pemberi, dan penyusun makna
karya sastra sehingga menghasilakan nilai-nilai tertentu (Aminuddin, 1987: 94).
Pembaca awam akan menerima karya
sastra dengan keawamannya. Setelah membaca roman siti nurbaya, seseorang ibu
rumah tangga yang awam dalam dunia sastra pernah bertanya, apakah kuburan siti
nurbaya sampai sekarang masih ada.Mungkin dalam benak pembaca awam, cerita yang
ada di roman siti nurbaya benar-benar terjadi. Wajar bila ia menganggap bahwa
makam siti nurbaya juga benar-benar ada. tanpa harus dilandasi dengan teori-teori sastra.
Pembaca yang satrawan menerima karya
sastra dengan skemata kesastrawannya.Mereka menerima karya sastra berdasarkan pengalaman mereka dalam
berproses kreatif.Setelah membaca karya sastra, sering mereka terdorong untuk
menulis karya sastra yang baru. Banyak sastrawan yang mengaku bahwa karyanya
muncul karena inspirasi yang didapat dari membaca karya orang lain ataupun
mungkin karyanya sendiri.
Pembaca yang kritikus membaca karya
sastra lebih banyak didasrkan pada penilaian baik-buruk atau berhasil gagalnya
sebuah karya sastra. Pembaca yang berasal dari kalangan akademesi menerima
karya sastra dengan skemata teori karya sastra yag telah mereka terima. Wajar
bila kesenjangan dan perbedaan antara makna yang dimaksud sastrawan dengan
makna yang diterima pembaca. Hal ini antara lain, disebabkan sesuatu yang
dimaksud oleh sastrawan barangkali tidak sama atau hanya sebagian saja yang
mirip dengan yang dipahami pembaca.
Perbedaan dan persamaan mereka tentang sesuatu dipengaruhi oleh perbedaan dan
persamaan pandangan mereka terhadap
dunia (Kartomirhadjo, 1992 : 13).Sebagai
contoh, bagi orang tertentu kucing merupakan binatang yang menyenangkan karena
bisa diajak untuk berteman. Orang lain mungkin berpandangan bahwa kucing itu
menjengkelkan karena lauk-pauknya sering dicuri kucing. Dengan kondisi semacam
ini, wajar bila kedua pembaca ini akan membayangkan sesuatu yang berbeda bila
membaca karya sastra yang berkenaan dengan kucing.
Kesenjangan antara sastrawan dan pembaca juga bisa ditimbulkan oleh perbedaan kepribadiaan dan perbedaan latar belakang.Kebahasan, kesastraan, sosiologis, dan psikologis yang dimiliki oleh sastrawan dan pembaca.Sastrawan berhak untuk menawarkan karya sastranya kepada pembaca. Disisi lain, pembaca pun berhak untuk memilih atau bahkan tidak memilih sama sekali karya sastra yang ditawarkan sastrawan. Pembacalah yang nantinya menjadi unsur utama hukum seleksi alam bagi karya-karya sastra yang ditawarkan sastrawan. Ada karya sastra yang bermutu dan diterima dengan baik oleh pembacanya.Ada karya sastra yang tidak bermutu dan tidak diterima oleh pembacanya.Ada karya sastra yang bermutu, tetapi kurang dikenal pembacanya.Ada juga karya sastra yang kurang baik, tetapi diterima pembacanya.
Kesenjangan antara sastrawan dan pembaca juga bisa ditimbulkan oleh perbedaan kepribadiaan dan perbedaan latar belakang.Kebahasan, kesastraan, sosiologis, dan psikologis yang dimiliki oleh sastrawan dan pembaca.Sastrawan berhak untuk menawarkan karya sastranya kepada pembaca. Disisi lain, pembaca pun berhak untuk memilih atau bahkan tidak memilih sama sekali karya sastra yang ditawarkan sastrawan. Pembacalah yang nantinya menjadi unsur utama hukum seleksi alam bagi karya-karya sastra yang ditawarkan sastrawan. Ada karya sastra yang bermutu dan diterima dengan baik oleh pembacanya.Ada karya sastra yang tidak bermutu dan tidak diterima oleh pembacanya.Ada karya sastra yang bermutu, tetapi kurang dikenal pembacanya.Ada juga karya sastra yang kurang baik, tetapi diterima pembacanya.
Ketiga, kekhasan komunikasi antara
sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada pesannya, yaitu karya sastra itu
sendiri. Setelah pembaca membaca karya sastra, sebenarnya akan muncul karya
yang lain. Karya lain itu adalah karya yang ada didalam alam pikiran pembaca
sesuai dengan penafsiran dan sistem yang ada didalam pikirannya. Keempat,
kekhasan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya bisa dilihat pada diri
sastrawannya.Hubungan antara sastrawan dan pembaca juga bisa berupa hubungan
yang muncul akibat sikap dan pandangan satrawan terhadap pembaca.Selain muncul
dalam sikap sehari-hari, sikap terhadap pembaca tanpak pada karya sastranya.
Ada sastrawan yang mengajak, mendikte, atau bersikap menggurui pembaca.Sikap ini muncul karena sastrawan menganggap pembacanya tidak mengerti atau bodoh sehingga perlu di bimbing.Keadaan ini mungkin ada hubungannya atau berasal dari hubungan tukang cerita (tradisional) dengan masyarakatnya.Tukang cerita dianggap mengetahui segalanya, sedangkan masyarakat hanya mendengarkannya.Masyarakat mungkin meminta keterangan tambahan kepada tukang cerita yang dianggap mengetahui segalanya.Bahkan, banyak anggota masyarakat yang menganggap tukang cerita mempunyai kekuatan gaib seperti yang ada pada diri dalang wayang kulit di pulau jawa.Ada sastrawan beranggapan pembaca adalah orang yang tidak tahu atau kurang tahu, tetapi tidak perlu digurui. Dalam karya sastranya, sastrawan tersebut akan melemparkan masalah kepada pembaca dengan alternatif pemecahannya. Keadaan semacam ini terutama tanpak pada karya sastra tertulis.Ada sastarwan yang menganggap pembaca orang yang bijak.Pembaca sudah dianggap mampu menentukan sendiri keputusan dari permasalahan yang diajukan sastrawan.Dalam karya sastranya, sastrawan biasanya menyerahkan penyelesian dari suatu permasalahan kepada pembacanya. Hal ini antara lain, tanmpak pada karya sastra yang diakhiri dengan open ending, penyelesaian akhir yang terbuka. Ada juga keadaan yang berkaitan dengan karya sastra penulis muda atau pemula.Penulis pemula atau penulis muda memerlukan pengakuan kehadirannya.Ini memerlukan seorang pengkritik sastra sebagai pembacanya. Keadaan ini menyebabkan pengkritik berada pada posisi yang lebih tinggi dari seseorang penulis pembaca dianggap lebih pandai daripada sastrawannya (junus, 1985 :9-11).
Ada sastrawan yang mengajak, mendikte, atau bersikap menggurui pembaca.Sikap ini muncul karena sastrawan menganggap pembacanya tidak mengerti atau bodoh sehingga perlu di bimbing.Keadaan ini mungkin ada hubungannya atau berasal dari hubungan tukang cerita (tradisional) dengan masyarakatnya.Tukang cerita dianggap mengetahui segalanya, sedangkan masyarakat hanya mendengarkannya.Masyarakat mungkin meminta keterangan tambahan kepada tukang cerita yang dianggap mengetahui segalanya.Bahkan, banyak anggota masyarakat yang menganggap tukang cerita mempunyai kekuatan gaib seperti yang ada pada diri dalang wayang kulit di pulau jawa.Ada sastrawan beranggapan pembaca adalah orang yang tidak tahu atau kurang tahu, tetapi tidak perlu digurui. Dalam karya sastranya, sastrawan tersebut akan melemparkan masalah kepada pembaca dengan alternatif pemecahannya. Keadaan semacam ini terutama tanpak pada karya sastra tertulis.Ada sastarwan yang menganggap pembaca orang yang bijak.Pembaca sudah dianggap mampu menentukan sendiri keputusan dari permasalahan yang diajukan sastrawan.Dalam karya sastranya, sastrawan biasanya menyerahkan penyelesian dari suatu permasalahan kepada pembacanya. Hal ini antara lain, tanmpak pada karya sastra yang diakhiri dengan open ending, penyelesaian akhir yang terbuka. Ada juga keadaan yang berkaitan dengan karya sastra penulis muda atau pemula.Penulis pemula atau penulis muda memerlukan pengakuan kehadirannya.Ini memerlukan seorang pengkritik sastra sebagai pembacanya. Keadaan ini menyebabkan pengkritik berada pada posisi yang lebih tinggi dari seseorang penulis pembaca dianggap lebih pandai daripada sastrawannya (junus, 1985 :9-11).
Pandangan pembaca terhadap sastrawan
atau karya sastranya juga mempengaruhi sikap dan tindakan pembaca. Pembaca yang
berbeda pendapat, ideologi, atau pandangan dengan sastrawan akan sulit menerima
apa yang dikemukakan oleh sastrawan. Mungkin saja, apa yang dikemukakan oleh
sastrawan itu bisa benar menurut pembaca tersebut bila sastrawannya orang lain.
Pembaca akademis (kritikus) akan bisa bersikap merendahkan bila ia memandang
sastrawan itu gagal dalam karya sastranya. Kritikus bisa bersikap hormat bila
ia memandang sastrawan berhasil dalam karya sastranya. Pembaca akan berusaha
untuk memahami atau bahkan mengikuti apa yang disarankan oleh sastrawan bila ia
adalah pujaan pembaca.
Dalam hubungannya dengan karya
sastra yang ditawarkan oleh sastrawan, pembaca dapat saja menggunakan asas-asas
tafsiran lokal dan analogi. Asas tafsiran lokal ini memberikan petunjuk kepada pendengar/pembaca
agar tidak membentuk konteks yang lebih luas dari yang ia perlukan untuk sampai
kepada suatu tafsiran. Asas analogi adalah salah satu heuristik mendasar yang
dianut oleh pendengar/pembaca dan penganalisis untuk menentukan
tafsiran-tafsiran dengan mempertimbangkan konteks. Mereka menganggap bahwa segala sesuatu akan tetap seperti sebelumnya
jika mereka tidak diberi peringatan
tertentu bahwa suatu aspek tertentu telah berubah (Brown dan Yule, 1996:
58-65).
Asas ini mengharuskan pendengar/pembaca
menginterprestasikan suatu wacana seperti yang telah diketahui sebelumnya,
kecuali apabila ada pemberitahuan bahwa sebagian dari wacana itu di ubah (Kartonomihardjo, 1993: 29).Wacana ditafsirkan dari sudut
pengalaman dengan wacana serupa dimasa lampau, melalui analogi dengan teks-teks
serupa sebelumnya. Pengalaman
sebelumnya yang relavan, bersama dengan asas tafsiran lokal, akan mendorong
pendengar/pembaca untuk berusaha menafsirkan ujaran-ujaran yang berurutan
sebagai berhubungan dengan topik yang sama. Pembaca juga melakukan proses
inferes. Inferes adalah usaha menarik
kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antar ujaran (Brown dan Yule, 1996).
2.3
Pandangan
Ahli terhadap Pembaca Sastra
Dalam
pandangan Jauss penelitian resepsi didasarkan pada perombakan sejarah
sastra. Ia tidak lagi memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra melainkan
bagaimana sebuah sastra diterima waktu terbit pertama kali dan seterusnya. Jauss
memperkenalkan pengertian horison harapan (penerimaan dan pengolahan batin
pembaca).
Horison
harapan seorang pembaca ditentukan berdasarkan komponen-komponen berikut:
-
Pengetahuan
mengenai kesenian dan jenis-jenis sastra
-
Pengetahuan
mengenai lingkungan historis-literer
-
Pengetahuan
mengenai perbedaan antara fakta dan fiksi
-
Perbedaan
mengenai bahasa puitis dan bahasa sehari-hari
Menurut Jauss penilaian pembaca terjadi berdasarkan komunikasi
antara teks dan horison harapan si pembaca, bila harapan tadi diperluas kareana
ada norma-norma baru, maka karya itu dinilai sebagai seni yang sungguh-sungguh.
Bila tidak maka karya itu termasuk karya sastra picisan.
Plato menjelaskan Sastra adalah hasil
peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis).Sebuah karya sastra harus
merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.
Aristoteles juga menyebutkan Sastra sebagai kegiatan lainnya
melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Menurut Mursal Esten (1978 : 9) Sastra atau Kesusastraan adalah
pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan
manusia. melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap
kehidupan manusia (kemanusiaan).
Selain itu Semi
(1988 : 8 ) mengungkapkan Sastra
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menurut Sapardi, karya sastra adalah karya yang
dimaksudkan oleh pengarangnya sebagai karya sastra, berwujud karya sastra, dan
diterima oleh masyarakat sebagai karya sastra. Dari penjelasan sapardi itu
dapat diketahui bahwa pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya itu
merupakan karya sastra atau bukan.
Horatius dalam ars poetika (14 sm)
menyatakan bahwa tujuan penyair adalah berguna atau memberi nikmat, ataupun
sekaligus menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan.
Dalam hubungannya dengan karya
sastra yang ditawarkan oleh sastrawan, pembaca dapat saja menggunakan asas-asas
tafsiran lokal dan analogi. Asas tafsiran lokal ini memberikan petunjuk kepada pendengar/pembaca
agar tidak membentuk konteks yang lebih luas dari yang ia perlukan untuk sampai
kepada suatu tafsiran. Asas analogi adalah salah satu heuristik mendasar yang
dianut oleh pendengar/pembaca dan penganalisis untuk menentukan
tafsiran-tafsiran dengan mempertimbangkan konteks.
3.2 Kritik dan Saran
Kami menyadari, dalam pembuatan
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sebagai
penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari semua pihak terutama
dosen.Kami hanyalah manusia biasa.Jika ada kesalahan, itu datangnya dari kami
sendiri, jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki (1990). Ilmu Sastra: Teori Terapan Bandung Angkasa Raya
http://
taurusgirll. Blogspot.com/2011/03/teori- sastra-indonesiasastrawan-dan.html
No comments:
Post a Comment